Kejari Ponorogo Tetapkan Daniel Lette sebagai DPO Terkait Skandal Kredit Fiktif

oleh -16 Dilihat
Img 20250723 095454.jpg

Kejaksaan Negeri Ponorogo Tetapkan Daniel ‘Lette’ Sebagai DPO Terkait Kasus Kredit Fiktif

Ponorogo – Kejaksaan Negeri (Kejari) Ponorogo telah resmi menetapkan Daniel Sakti Kusuma Wijaya, yang akrab disapa Lette, sebagai buronan atau Daftar Pencarian Orang (DPO). Penetapan ini menyusul dugaan keterlibatannya dalam skandal kredit fiktif di BRI Unit Pasar Pon, yang terjadi pada tahun 2024.

Lette, pria berusia 24 tahun asal Kabupaten Madiun, telah mangkir dari tiga panggilan penyidik, yang menyebabkan Kejari harus mengambil langkah lebih lanjut dengan membagikan informasi mengenai identitas dan ciri-ciri fisiknya kepada masyarakat. Kepala Seksi Intelijen Kejari Ponorogo, Agung Riyadi, menekankan pentingnya peran aktif masyarakat dalam membantu penegakan hukum. “Kami berharap masyarakat melaporkan jika mengetahui keberadaan Lette melalui call center di situs resmi Kejari Ponorogo,” ujarnya.

Dari keterangan resmi yang diumumkan, Lette memiliki tinggi 176 cm, kulit sawo matang, serta wajah lonjong. Ia beralamat di Kelurahan Kaibon, Kecamatan Geger, Kabupaten Madiun. Sebagai mantan karyawan BRI Ponorogo, Lette diduga memiliki tahapan penting dalam proses pengumpulan data identitas warga untuk diserahkan kepada tersangka lainnya, Saka Pradana Putra. Data yang dikumpulkan inilah yang diduga digunakan untuk memalsukan pengajuan kredit.

Lette disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, karena diduga menimbulkan kerugian kepada negara melalui skema kredit fiktif. Sejak penyidikan bergulir, Lette menghindar, yang berpotensi menghadirkan hukuman tambahan jika ia tidak menyerahkan diri.

Dalam konteks sosial dan ekonomi Indonesia, skandal semacam ini menunjukkan tantangan serius dalam dunia perbankan dan korupsi, yang dampaknya sungguh dirasakan oleh masyarakat. Kredit fiktif tidak hanya merugikan lembaga keuangan, tetapi juga berdampak pada perekonomian masyarakat luas, terutama mereka yang membutuhkan akses ke dana untuk usaha dan investasi.

Agung Riyadi mengingatkan bahwa menyembunyikan buronan seperti Lette merupakan tindak pidana. “Siapa pun yang berusaha menghalangi proses penyidikan, termasuk menyembunyikan DPO, dapat dikenakan Pasal 21 UU Tipikor dengan ancaman hukuman minimal tiga tahun hingga maksimal dua belas tahun penjara,” tegasnya.

Dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan kejahatan korupsi, harapan ada perubahan positif dalam pengawasan dan penegakan hukum di sektor keuangan. Masyarakat tentu berharap agar Kejari Ponorogo terus bertindak tegas dan transparan dalam menangani kasus ini. Keberanian masyarakat untuk melaporkan informasi terkait keberadaan DPO diharapkan dapat mempercepat proses penyelesaian kasus dan mencegah terulangnya praktik-praktik buruk di masa mendatang.

Dalam situasi yang penuh tantangan ini, sudah saatnya masyarakat, lembaga negara, dan pihak swasta bersinergi untuk menciptakan sistem yang lebih terpercaya dan bertanggung jawab dalam pengelolaan keuangan. Upaya ini tidak hanya untuk meminimalkan potensi korupsi, tetapi juga untuk memastikan keamanan dan kesejahteraan ekonomi rakyat Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *