Revisi Undang-Undang Senjata Api Darurat: Langkah Strategis atau Ancaman?
Denpasar – Anggota DPR RI sekaligus Ketua Umum DPP Perkumpulan Pemilik Izin Khusus Senjata Api Bela Diri Indonesia (Periksha), Bambang Soesatyo, mendorong revisi Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang kepemilikan dan penggunaan senjata api. Dalam acara Asah Keterampilan Periksha 2025 yang berlangsung di Bali, ia menegaskan pentingnya peran DPR RI dalam memperbaharui regulasi tersebut.
Bamsoet, panggilannya, mengungkapkan bahwa revisi ini sudah dipersiapkan melalui kajian akademis yang mendalam. “Kami mendorong inisiatif DPR untuk melakukan revisi ini, karena ada dua jalur untuk pengajuan undang-undang—dari DPR atau pemerintah,” ujarnya.
Hingga saat ini, tercatat sekitar 300 pemilik senjata api resmi tergabung dalam Periksha. Bamsoet berpendapat bahwa mereka memerlukan payung hukum yang lebih kuat untuk melindungi posisi mereka sebagai komponen cadangan bela negara. “Dengan jumlah tentara dan polisi yang terbatas, pemilik senjata api resmi dapat berkontribusi dalam menjaga keamanan,” paparnya.
Namun, dalam konteks sosial Indonesia saat ini, revisi ini juga mengundang berbagai pertanyaan. Lubang-lubang dalam peraturan yang ada, seperti Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2022 yang memberikan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara untuk pelanggaran, menimbulkan rasa was-was di kalangan pemilik senjata. Bamsoet menekankan bahwa niat baik untuk membela diri harus diimbangi dengan pemahaman yang mendalam terhadap undang-undang yang mengatur penggunaannya.
Ia juga menggarisbawahi pentingnya kepolisian menjalankan simposium untuk menyamakan persepsi tentang ancaman yang mungkin dihadapi pemilik senjata. “Kita harus disiplin dan bijaksana dalam menggunakan senjata api. Jangan sampai satupun dari kita terjerat hukum karena salah pemahaman,” jelasnya.
Menghadapi pro dan kontra dalam isu ini, masyarakat perlu menggali lebih dalam apa implikasi dari revisi ini bagi mereka. Apakah kepemilikan senjata api akan meningkatkan rasa aman, atau justru sebaliknya—menambah potensi konflik di tengah masyarakat? Baik pemilik senjata maupun non-pemilik harus terlibat dalam diskusi konstruktif untuk mencapai kesepakatan yang menguntungkan semua pihak.
Bamsoet menekankan bahwa senjata api haruslah menjadi alat perlindungan, bukan justru memicu masalah. “Hindari menyimpan senjata di mobil atau tempat yang tidak aman,” katanya, merekomendasikan untuk senantiasa mematuhi prosedur pengamanan yang ketat.
Dalam konteks ini, revisi Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 dan diskusi yang menyertainya jangan hanya dilihat sebagai langkah hukum semata, tetapi juga sebagai upaya untuk mengedukasi masyarakat tentang tanggung jawab dan risiko yang datang bersama kepemilikan senjata api. Apakah kita siap untuk menghadapi tantangan ini dengan bijaksana?
Pemilik senjata di Indonesia diharapkan bisa mengedepankan asas kehati-hatian dan bertanggung jawab, mengingat pentingnya menjaga keamanan dan ketertiban di tengah masyarakat. Dengan langkah yang bijak, harapan untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman bisa terwujud tanpa menambah potensi ancaman sosial.