Kemacetan Parah di Pelabuhan Ketapang: Imbas Pengurangan Armada Kapal
Kemacetan panjang terjadi di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, dengan antrean kendaraan logistik yang mengular hingga lebih dari 30 kilometer. Kejadian ini disebabkan penurunan signifikan jumlah kapal yang melayani rute penyeberangan ke Gilimanuk, Bali, setelah insiden tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya pada 2 Juli 2025. Dari 15 kapal yang sebelumnya aktif, kini hanya enam kapal yang diizinkan beroperasi.
Kurangnya jumlah armada ini menyebabkan dampak langsung terhadap ribuan kendaraan, terutama truk bertonase berat, yang terjebak dalam antrean panjang. Kepala Dinas Perhubungan Jawa Timur, Nyono, mengungkapkan bahwa situasi ini berada di luar kendali Pemprov Jatim.
“Pengelolaan pelabuhan penyeberangan Ketapang sepenuhnya dikelola oleh PT ASDP Indonesia Ferry Cabang Ketapang. Sementara itu, otoritas keselamatan dan izin operasional kapal menjadi tanggung jawab Syahbandar Tanjungwangi dan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan,” jelas Nyono.
Meski penyeberangan Ketapang-Gilimanuk merupakan lintas antarprovinsi di bawah naungan pemerintah pusat, Pemprov Jatim berupaya aktif mencari solusi lantaran Banyuwangi adalah wilayah terdampak. Gubernur Khofifah Indar Parawansa telah mengirimkan surat resmi kepada Menteri Perhubungan, meminta penambahan kapal berkapasitas besar untuk meredakan kemacetan di pelabuhan.
“Surat resmi ini meminta tambahan kapal yang bisa melayani dermaga LCM di Pelabuhan Ketapang,” tutur Nyono, menjelaskan bahwa surat Gubernur telah dikirim pada 27 Juli dan akan mengikuti prosedur resmi pada 28 Juli.
Pengurangan jumlah kapal ini juga berakibat pada perubahan kapasitas angkut. Kapal-kapal yang sebelumnya mampu mengangkut hingga 20 kendaraan kini hanya boleh membawa lima unit. Dengan kondisi ini, antrean panjang di Pelabuhan Ketapang semakin tak terhindarkan.
Sebagai solusi jangka pendek, Pemprov Jatim mendorong pengaktifan pelabuhan alternatif, seperti Pelabuhan Jangkar di Situbondo. Namun, keputusan ini tetap perlu mendapatkan persetujuan dari pemerintah pusat.
“Kami menyadari ini bukan kewenangan kami, namun kami tidak ingin diam saja. Situasi ini memengaruhi arus logistik dan mobilitas warga Jawa Timur, sehingga kami harus bersuara dan memperjuangkan solusi,” tegas Nyono.
Menyikapi kemacetan di Pelabuhan Ketapang, pihak Dinas Perhubungan Jatim telah berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat untuk mempercepat respons atas surat Gubernur.
Kemacetan ini tidak semata-mata masalah waktu dan kenyamanan, tetapi juga berpotensi mengganggu stabilitas harga dan pasokan barang di Jawa dan Bali. Seorang pengemudi truk, Slamet, mengaku sudah dua hari menunggu untuk menyeberang sambil membawa sayur ke Bali. “Kalau terus begini, sayur yang saya bawa bisa rusak,” keluhnya.
Dengan adanya dorongan dari pemangku kebijakan dan harapan masyarakat, publik menanti langkah cepat dari pemerintah pusat untuk mengatasi hambatan di jalur penyeberangan strategis ini, memastikan bahwa keselamatan pelayaran tetap menjadi prioritas utama. Antrean di Pelabuhan Ketapang diharapkan segera terurai, memulihkan aktivitas penyeberangan yang vital bagi kebutuhan masyarakat.