Kesepakatan Transfer Data Pribadi WNI ke AS Memicu Kekhawatiran Soal Kedaulatan Digital Indonesia

oleh -13 Dilihat
Ketua pkkmb 2025 untag surabaya supangat 1750998316637 169.jpeg

Kesepakatan Transfer Data Pribadi WNI ke AS Mengundang Protes di Masyarakat

Surabaya – Kerja sama dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) kembali mencuri perhatian, terutama terkait kesepakatan yang berpotensi melibatkan transfer data pribadi warga negara Indonesia (WNI) ke AS. Meskipun Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi telah membantah adanya penyerahan data pribadi WNI, kekhawatiran masyarakat dan akademisi tetap mengemuka.

Dosen Sistem dan Teknologi Informasi Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya, Supangat, PhD, menyoroti bahwa kesepakatan ini menjadi sorotan di kalangan pemerhati keamanan digital. “Kesepakatan ini merupakan bagian dari negosiasi dagang bilateral yang diharapkan menguntungkan kedua pihak. Namun, mekanisme perlindungan data pribadi dan rincian kesepakatan hingga kini masih gelap,” ungkapnya.

Isu yang paling mengkhawatirkan adalah dampak terhadap kedaulatan data nasional. Di era digital saat ini, data bukan hanya sekadar informasi, tetapi juga mencerminkan identitas dan hak dasar warga negara. “Transfer data pribadi harus berdasarkan prinsip kedaulatan dan bukan sekadar untuk efisiensi ekonomi,” tegasnya.

Supangat menambahkan, kekuatan negosiasi Indonesia berpotensi lemah jika tidak memiliki regulasi yang jelas dan kuat dalam pengelolaan data. Ia menyatakan, meskipun Indonesia telah memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, perlindungan tersebut bisa menjadi rapuh jika negara penerima data tidak memiliki standar setara. Hal ini bisa membuka peluang bagi eksploitasi data warga oleh entitas asing.

Menurutnya, transfer data ke luar negeri dapat memberikan nilai tambah ekonomi. Namun, ketika data dikelola oleh perusahaan asing, nilai strategisnya tidak akan kembali ke Indonesia. “Indonesia seharusnya tidak hanya menjadi pemasok bahan mentah digital, tetapi juga memanfaatkan data untuk kemajuan ekonomi digital dalam negeri,” paparnya.

Ia menekankan bahwa pemerintah harus bertanggung jawab dalam menjaga kedaulatan digital. Setiap perjanjian internasional harus dievaluasi agar tidak merugikan kepentingan nasional, terutama yang terkait dengan aliran data pribadi. “Transparansi tentang dampak kesepakatan ini perlu diutamakan, terutama terkait aliran data ke luar negeri,” ujarnya.

Supangat menyarankan agar otoritas perlindungan data independen segera dibentuk sesuai dengan UU Perlindungan Data Pribadi untuk memastikan pengawasan yang memadai. Tanpa lembaga ini, arus data lintas negara berpotensi tidak terkontrol, yang pada akhirnya merugikan kepentingan masyarakat.

“Masyarakat harus menyadari bahwa kedaulatan data adalah bagian dari kemerdekaan digital. Negara tidak boleh mengorbankan kontrol atas data demi keuntungan jangka pendek,” tegasnya.

Kesimpulannya, posisi Indonesia dalam negosiasi internasional sangat bergantung pada regulasi yang kuat dan keberanian untuk berdiri sejajar dengan negara lain. Arsitektur regulasi bukan sekadar dokumen hukum, melainkan fondasi strategis untuk memastikan bahwa Indonesia menjadi bangsa yang berdaulat secara digital, bukan hanya menjadi pasar bagi kekuatan asing yang menguasai informasi warga.

Dengan begitu, penting bagi masyarakat dan pemerintah untuk bersinergi dalam menjaga kedaulatan digital demi kelangsungan hak privasi dan keamanan data pribadi. Hanya dengan kesadaran kolektif dan regulasi yang tepat, Indonesia dapat menghadapi tantangan di era digital.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *