Paceklik Pelatih Lokal di Kasta Tertinggi Sepak Bola Indonesia
Jakarta – Musim kompetisi Super League 2025/2026 yang dimulai akhir pekan ini menjadi momen penting untuk mengevaluasi keberadaan pelatih lokal di sepak bola Indonesia. Di tengah dominasi pelatih asing, tantangan bagi pelatih lokal semakin terasa, meskipun mereka memiliki pemahaman yang mendalam tentang karakteristik sepak bola Tanah Air.
Pelatih lokal memiliki keahlian dalam mengelola pengembangan pemain dari akar rumput hingga menjadi bintang di klub profesional. Namun, seiring berjalannya waktu, peluang bagi mereka semakin menyusut. Saat ini, hanya satu pelatih lokal, Hendri Susilo dari Malut United, yang menangani klub di papan atas Liga Indonesia. Perubahan ini menjadi sorotan, mengingat sejarah menunjukkan keberhasilan pelatih lokal dalam membawa klub-klub meraih gelar juara.
Kekuasaan pelatih asing mulai menggeser posisi pelatih lokal, yang sebelumnya dianggap mampu bersaing di kompetisi tertinggi. Lihat saja perjalanan pelatih-pelatih lokal legendaris, seperti Rahmat Darmawan yang sukses mengantarkan Persipura Jayapura meraih juara pada musim 2004/2005, dan Djadjang Nurdjaman yang membawa Persib Bandung meraih gelar pada musim 2013/2014. Namun, sejak Djanur, pelatih lokal tampaknya kehilangan daya magisnya.
Kondisi ini berkembang seiring dengan banyak klub yang lebih memilih pelatih asing, meskipun sebagian besar dari mereka tidak memiliki rekam jejak yang signifikan. Fenomena ini semakin menempatkan pelatih lokal dalam posisi yang terpinggirkan, bahkan di klub-klub yang baru dipromosikan dari kompetisi bawah. Persijap Jepara, Bhayangkara FC, dan PSIM Yogyakarta, yang awalnya ditangani oleh pelatih lokal, kini juga melakukan pergantian pelatih untuk menyesuaikan dengan ambisi bersaing di level tertinggi.
Dampak dari pergeseran ini sangat terasa bagi masyarakat pecinta sepak bola Indonesia. Kurangnya pelatih lokal dalam kompetisi Super League menciptakan rasa kehilangan, mengingat bahwa pelatih lokal merupakan ujung tombak pengembangan talenta sepak bola nasional. Dalam kondisi seperti ini, DFB, Federasi Sepak Bola Jerman, bisa menjadi contoh bagi Indonesia. Mereka memiliki sistem pendidikan pelatih yang terstruktur dan komprehensif, menghasilkan pelatih-pelatih handal yang dapat bersaing di level internasional.
Situasi saat ini terasa janggal, di mana di kasta kedua Liga Indonesia, setiap klub diwajibkan untuk dilatih oleh pelatih lokal, namun begitu naik ke kasta tertinggi, peluang itu seakan hilang. Kondisi ini menunjukkan perlunya dorongan dan kebijakan dari federasi untuk membuka kembali peluang bagi pelatih lokal agar dapat berkontribusi di tingkat yang lebih tinggi.
Dengan meningkatnya kuota pemain asing dalam beberapa musim terakhir, pelatih lokal sering kali kalah bersaing dalam hal kepercayaan dari klub-klub besar. Namun, tanpa adanya dukungan dan kesempatan, pelatih lokal akan terus mengalami paceklik yang berkepanjangan.
Tantangan ke depan adalah untuk memberikan kesempatan yang setara bagi pelatih lokal untuk membuktikan diri di pentas sepak bola tertinggi Indonesia. Ini bukan hanya soal mengangkat trofi, tetapi juga tentang masa depan sepak bola Indonesia yang membutuhkan pertumbuhan dan keberlanjutan di semua lini, termasuk pelatihan.
Kesadaran akan pentingnya peran pelatih lokal harus menjadi perhatian serius semua pemangku kepentingan, agar tidak hanya menghasilkan pemain bertalenta, tetapi juga menciptakan suhu kompetisi yang seimbang dan sehat dalam sepak bola Indonesia.