Mengingat Jejak Sejarah: Surabaya Sebagai Pijakan Awal Pemikiran Soekarno
Surabaya, 6 Juni 1901 – Kota ini bukan sekadar titik lahir bagi Soekarno; ia adalah saksi perjalanan intelektual dan kebangkitan nasionalisme yang mengubah arah sejarah Indonesia. Dengan peran vital dalam proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Soekarno tak hanya dikenal sebagai proklamator, tetapi juga sebagai ideolog yang gagasannya terus relevan hingga kini.
Sejarah ini kemudian mengingatkan kita tentang pentingnya pendidikan dan pembelajaran di lingkungan yang tepat. Selama masa mudanya, Soekarno tumbuh dalam suasana ketidakadilan yang melanda rakyat pribumi Indonesia. Di sinilah Surabaya, sebagai kota yang kaya akan dinamika sosial-politik, memainkan peran penting. Lingkungan ini membentuk pemikiran dan prinsip hidup Soekarno tentang kebangsaan dan kemerdekaan.
Pengalaman Soekarno di HBS (Hogere Burger School) Surabaya dan indekos di rumah HOS Tjokroaminoto, salah satu tokoh pergerakan Islam, menjadi fondasi pemikiran politiknya. Di tempat tersebut, ia terpapar dengan berbagai diskusi politik dan gagasan tentang perjuangan. Melalui interaksi dengan tokoh-tokoh seperti Alimin dan Haji Agus Salim, Soekarno tidak hanya belajar tentang organisasi, tetapi juga mengenai semangat persatuan yang diperlukan untuk memperjuangkan kemerdekaan.
“Bangsa yang tidak percaya pada kekuatan dirinya tidak dapat berdiri sebagai satu bangsa yang merdeka,” ungkapan ini mencerminkan ketulusan dan keyakinan Soekarno yang tumbuh dari pengalamannya menyaksikan penindasan warga pribumi. Surabaya memberikan kesempatan baginya untuk mengasah kemampuan oratoris dan membangun jembatan komunikasi dengan berbagai kalangan.
Seiring waktu, Soekarno aktif di organisasi pemuda Tri Koro Dharmo dan mulai menulis di majalah Harian Utusan Hindia dengan nama samaran “Bima.” Pengalaman ini memperkuat rasa nasionalisme dan kesadaran tentang pentingnya persatuan nasional.
Setelah menamatkan pendidikan di HBS pada 1921, Soekarno melanjutkan studi ke Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB). Di sana, ia kembali berinteraksi dengan tokoh-tokoh pergerakan dan semakin mematangkan gagasan “Marhaenisme,” ideologi yang memperjuangkan hak-hak rakyat kecil.
Pada 4 Juli 1927, Soekarno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI), yang kemudian menjadi platform perjuangan bagi pergerakan kemerdekaan. Kongres pertama PNI di Surabaya pada Mei 1928 menunjukkan semangat kolektif bangsa yang terus menyala meski menghadapi penindasan pemerintah kolonial. Namun, tindakan represif pemerintah menghadang langkahnya. Penangkapan Soekarno pada 1929 lalu dan pidato “Indonesia Menggugat” yang menegaskan semangat anti-kolonialnya menunjukkan bahwa suaranya takkan pernah padam.
Meskipun mengalami pengasingan dan penahanan, Soekarno terus memperdalam pemikirannya. Dari pengalaman pahit itu, lahirlah gagasan Pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia. Proklamasi kemerdekaan yang dihasilkan dari perjuangan panjang Soekarno membuktikan bahwa ide-ide yang terlahir di Surabaya dapat memicu semangat bangsa untuk merdeka.
Hari Pancasila, yang diperingati setiap 1 Juni, mengundang kita untuk merenungkan kembali nilai-nilai yang terkandung dalam lima silanya. Ini bukan hanya soal sejarah, tetapi juga tentang bagaimana kita sebagai masyarakat harus terus mewarisi semangat perjuangan dan persatuan yang dibangun oleh pendiri bangsa. Surabaya sebagai kiblat perjuangan mengajak kita untuk menumbuhkan cinta Tanah Air dan menguatkan identitas bangsa di tengah tantangan zaman.
Sebagai bangsa yang merdeka, kita memiliki tanggung jawab untuk melestarikan warisan pemikiran Soekarno. Mari kita jadikan perjalanan ini sebagai inspirasi untuk terus berjuang demi Indonesia yang lebih baik.