Draf KUHAP Soroti Perlindungan HAM dari Tindakan Akarbiter

oleh -6 Dilihat
1000454032.jpg

RUU KUHAP: Langkah Baru untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia

Jakarta (ANTARA) – Urgensi pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) makin mendesak, terutama dalam konteks perlindungan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Deputy Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej, menegaskan bahwa RUU ini dirancang untuk melindungi hak-hak individu dari tindakan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum.

Dalam diskusi di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta pada Sabtu, Hiariej menyampaikan bahwa RUU ini mempertimbangkan kepentingan berbagai pihak, termasuk korban, terdakwa, perempuan, saksi, dan penyandang disabilitas. “Kita harus memastikan bahwa semua pihak mendapatkan perlindungan yang setara,” ujarnya.

Masyarakat Indonesia, yang seringkali menjadi korban dalam proses hukum, sangat mengharapkan adanya perubahan yang nyata dalam sistem hukum. Hiariej menjelaskan bahwa RUU ini bertujuan untuk menjaga netralitas hukum, agar kekuasaan penegak hukum tidak bertentangan dengan HAM. Dia menekankan pentingnya memperkuat peran penasihat hukum untuk menciptakan keseimbangan antara kekuasaan polisi dan jaksa. Dalam konsep RUU ini, setiap orang yang terlibat dalam proses hukum wajib didampingi oleh penasihat hukum.

Saat ini, KUHAP yang berlaku cenderung memprioritaskan otoritas hukum lebih daripada perlindungan hak asasi manusia. Menurut Hiariej, prinsip due process menjadi pedoman utama dalam RUU ini, untuk memastikan bahwa perlindungan hak individu terjaga dan penegakan hukum dilakukan sesuai aturan yang berlaku. Ini adalah kabar baik untuk masyarakat luas yang mendambakan transparansi dan keadilan di dalam sistem hukum.

Sebagai bagian dari upaya menjadikan RUU ini lebih inklusif, Hiariej menyatakan bahwa pemerintah terbuka terhadap masukan dari publik. “Kami ingin mendengar suara masyarakat dan mempertimbangkan masukan yang diberikan,” ujarnya. Hal ini memberi harapan bagi masyarakat bahwa mereka memiliki peran dalam pembentukan hukum yang akan mengatur kehidupan mereka.

Dalam diskusi yang sama, aktivis HAM Haris Azhar mengungkapkan keprihatinan bahwa KUHAP saat ini sudah dianggap usang, baik dari segi terminologi maupun konsep kejahatan. Ia menekankan bahwa RUU ini seharusnya berlandaskan pada kebenaran dan transparansi, bahkan dari tahap penyelidikan. “Kebenaran harus diungkapkan karena penyelidikan menggunakan uang negara,” katanya.

Pandangan Azhar memberikan gambaran jelas mengenai tantangan yang harus dihadapi dalam proses reformasi hukum. Permintaan masyarakat akan keadilan yang berbasis pada terbukanya fakta-fakta pemidanaan sangat kuat. Situasi ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak hanya ingin menjadi korban hukum, tetapi juga pelaku dalam proses perubahan tersebut.

Melihat kondisi sosial-politik Indonesia saat ini, dorongan untuk mereformasi sistem hukum menjadi penting. RUU KUHAP diharapkan dapat menjadi titik awal untuk merajut hubungan yang lebih baik antara aparat penegak hukum dan masyarakat. Di tengah berbagai dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, upaya untuk menjaga hak asasi manusia menjadi tanggung jawab bersama.

Dengan demikian, perhatian terhadap RUU KUHAP bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah dan legislatif. Namun, masyarakat pun diharapkan aktif memberikan masukan dan kritik konstruktif untuk mewujudkan sistem hukum yang adil dan berkeadilan. Keberhasilan pembaruan ini akan sangat bergantung pada partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat dalam mendukung perubahan ke arah yang lebih baik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *