Gula Tebu Rakyat Menumpuk di Gudang, Petani Undang Pemerintah untuk Turun Tangan
Bondowoso – Masalah serius menghantui petani tebu di Indonesia, khususnya di Bondowoso dan Situbondo. Puluhan ribu ton gula, hasil panen tebu rakyat, terpaksa menumpuk di gudang pabrik gula (PG) karena tidak laku terjual, meski telah dilelang.
Di PG Pradjekan, Bondowoso, tercatat sekitar 4.000 ton gula tak terserap pasar dengan nilai estimasi mencapai Rp 60 miliar, berdasarkan harga pokok penjualan (HPP) lelang yang ditetapkan sebesar Rp 14.500 per kilogram. “Kondisi ini tidak hanya terjadi di Bondowoso, tetapi juga di daerah lain,” ungkap Rolis Wikarsono, Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Bondowoso, pada Selasa (12/8/2025).
Penyebab utama dari tumpukan gula ini adalah turunnya permintaan pasar, meski musim panen telah dimulai sejak bulan Mei. Dalam beberapa minggu terakhir, tidak satu pun gula yang dihasilkan laku terjual dalam lelang. Rolis menjelaskan, “Biasanya setiap lelang di PG Pradjekan bisa laku sekitar 1.000 ton, tetapi saat ini sama sekali tidak ada yang terjual,” tuturnya dengan nada prihatin.
Rolis menjelaskan bahwa dugaan awal terkait masalah ini adalah masuknya gula impor dan produk gula jenis lain yang tidak melalui mekanisme lelang petani lokal. Ia menegaskan bahwa hasil panen tahun ini sebenarnya cukup baik dengan rendemen rata-rata mencapai 7 persen. “Kami berharap pemerintah dapat turun tangan untuk membantu kami,” harap Rolis. Menurutnya, kondisi ini tidak hanya merugikan petani, tetapi juga seluruh mata rantai usaha tebu.
Data yang dihimpun menunjukkan bahwa gula yang tidak terjual dalam lelang telah menyebabkan penumpukan dari beberapa pabrik gula lainnya. Di PG Asembagus dan PG Pandji, masing-masing terdapat 11 ribu ton gula yang mengendap, sedangkan PG Wringinanom di Situbondo menyimpan 3.950 ton. Angka ini menunjukkan betapa besar dampak yang dirasakan oleh industri gula di daerah tersebut.
Sektor pertanian, khususnya tebu, merupakan salah satu pilar ekonomi lokal di Indonesia. Namun, situasi seperti ini menjadi tantangan berat bagi para petani. Bukan hanya mengancam pendapatan mereka, tetapi juga berpotensi memengaruhi harga gula di pasaran yang bisa berdampak pada konsumen di seluruh negeri.
Implikasi masalah ini meluas, mempengaruhi keberlanjutan usaha kecil hingga rumah tangga yang menggantungkan hidup pada sektor pertanian. Oleh karena itu, Rolis berharap agar pemerintah lebih proaktif dalam mencari solusi, baik melalui kebijakan yang mendukung petani lokal maupun dengan mengatur aturan terkait gula impor.
Dalam konteks yang lebih luas, keberadaan gula dalam perekonomian nasional juga patut dicermati. Kemandirian pangan, termasuk dalam penyediaan gula, menjadi salah satu fokus pemerintah dalam program ketahanan pangan. Dengan perhatian lebih dari pemerintah, harapannya petani gula di Indonesia dapat mengalami perbaikan kondisi dan keberlangsungan usaha mereka terjamin.
Sementara itu, masyarakat pun diharapkan dapat memahami dan mendukung petani lokal agar bisa tetap bertahan dan bersaing di pasar yang semakin ketat ini. Ke depannya, sinergi antara pemerintah, produsen, dan konsumen sangat dibutuhkan untuk menjaga keadilan dan keberlanjutan dalam industri tebu di Indonesia.