Gula Petani di Lumajang Menumpuk, Masyarakat Terancam Kerugian
Lumajang – Situasi terkini di Kabupaten Lumajang menunjukkan bahwa sebanyak 8.000 ton gula yang diproduksi oleh petani hingga saat ini belum terjual. Komoditas penting ini kini menumpuk di gudang milik Pabrik Gula (PG) Jatiroto, menggambarkan tantangan besar yang dihadapi oleh para petani dan pabrik.
Asisten Manajer Keuangan PG Jatiroto, Kharisma Desy, menjelaskan bahwa gula petani tersebut merupakan hasil produksi tebu, yang penjualannya dilakukan melalui proses lelang. “Hingga saat ini, sudah dilakukan lelang sebanyak tujuh kali, namun gula petani masih tetap belum terserap. Saat ini, gula tersebut menumpuk di pabrik,” ungkap Desy pada Selasa (12/8/2025).
Stok gula yang melimpah di pasaran menjadi salah satu faktor terhambatnya penjualan. Di tengah tantangan ini, PG Jatiroto kini menghadapi kekurangan ruang di gudang untuk menyimpan gula baru, karena hampir seluruh ruangannya dipenuhi dengan stok gula yang tidak laku. Hal ini menciptakan dampak langsung bagi petani yang menggantungkan hidup mereka pada hasil pertanian ini.
Wakil Ketua Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Dwi Irianto, menambahkan bahwa produksi gula di Jawa Timur merupakan kontribusi signifikan bagi kebutuhan gula nasional, mencapai hampir 40 persen. Namun, banyak gula hasil produksi petani kini terjebak di gudang karena kesulitan untuk dijual, tidak hanya di Lumajang tetapi juga di daerah lain seperti Bondowoso, Jember, Sidoarjo, dan Malang.
Persaingan yang ketat dengan gula rafinasi impor serta gula berbahan baku non-tebu semakin memperburuk keadaan. “Kami menghadapi kesulitan besar, karena gula tidak terjual dari gudang. Gula kristal rafinasi di pasar itu dibanderol dengan harga lebih murah, sekitar Rp 11.000 hingga Rp 12.000 per kilogram,” ujarnya.
Keluhan dari para petani pun semakin meluas akibat meningkatnya biaya produksi. Dari biaya pupuk non-subsidi hingga sewa lahan, serta ongkos untuk memanen dan mengangkut tebu yang mencapai Rp 17.500 per ton, keadaan ini membuat petani semakin sulit. Mereka berharap harga gula dapat terjual dengan minimal Rp 14.500 per kilogram. Namun, harga yang ditawarkan oleh pedagang tidak memadai, dan mereka pun enggan membeli karena situasi pasar yang jenuh.
Dwi mencatat bahwa total produksi gula di Jawa Timur hampir mencapai 1 juta ton, sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan daerah tersebut. Dengan kebutuhan total tahunan sekitar 400.000 hingga 500.000 ton, ini menciptakan akumulasi gula yang sekarang menumpuk di gudang. “Sisa produksi yang ada perlu untuk dijual ke luar daerah agar tidak menjadi beban bagi kami,” ungkap Dwi, mencerminkan kekhawatiran para petani akan masa depan hasil pertanian mereka.
Kondisi ini menjadi gambaran nyata tantangan yang dihadapi masyarakat petani di Indonesia, khususnya di sektor pertanian gula. Dalam menghadapi pasar yang kompetitif dan beratnya biaya produksi, keberlanjutan kehidupan para petani tebu di Jawa Timur dan sekitarnya menjadi semakin terancam. Masyarakat luas seharusnya menyadari bahwa krisis ini bukan hanya memengaruhi petani, tetapi juga dapat berdampak pada kestabilan harga gula di pasaran, yang akan berimbas pada konsumen di tingkat nasional.