Setya Novanto Dapat Remisi 28 Bulan, Bebas Bersyarat Hingga 2029

oleh -6 Dilihat
Tempimage0cqx2d.jpg

Setya Novanto Terima Remisi, Masyarakat Pertanyakan Keadilan Hukum

Jakarta (ANTARA) – Bekas Ketua DPR Setya Novanto alias Setnov, telah menerima remisi selama 28 bulan dan 15 hari, menjadikannya bebas bersyarat pada Sabtu, 16 Agustus 2025. Hal ini diungkapkan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Mashudi, saat ditemui di Lembaga Pemasyarakatan Kelas Salemba, Jakarta.

Remisi yang diberikan kepada Novanto ini menyebabkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Banyak yang mempertanyakan keadilan di balik keputusan ini, mengingat Novanto adalah mantan pejabat tinggi yang terjerat kasus korupsi pengadaan KTP elektronik yang merugikan negara hingga miliaran rupiah. Mashudi menjelaskan bahwa Novanto tidak hanya menerima remisi, tetapi juga telah melunasi denda dan uang pengganti sebagai bagian dari pertanggungjawabannya.

“Semua narapidana berhak atas remisi, asalkan memenuhi syarat. Ini adalah bagian dari sistem pemasyarakatan yang berlaku untuk semua,” ungkapnya. Dalam penjelasannya, ia menegaskan bahwa tidak ada pilih kasih dalam pemberian remisi.

Kepala Subdirektorat Kerja Sama Pemasyarakatan Ditjenpas, Rika Aprianti, menambahkan bahwa status Setnov telah berubah dari narapidana menjadi klien pemasyarakatan di Bapas Bandung. Ia masih akan menjalani bimbingan hingga April 2029, yang berarti Setnov harus tetap patuh terhadap aturan pemasyarakatan meskipun telah bebas bersyarat.

Setnova sendiri dikenakan vonis 15 tahun penjara karena terlibat dalam kasus korupsi besar, namun setelah mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung, hukumannya dipotong menjadi 12 tahun 6 bulan. Hal ini menuai kritik, terutama dari masyarakat yang merasa kecewa dengan proses hukum yang tampaknya memberikan ruang bagi pengurangan hukuman.

“Langkah-langkah hukum yang diambilnya bisa menimbulkan persepsi negatif di masyarakat. Banyak yang merasa bahwa hukum tidak berpihak pada rakyat kecil,” kata seorang aktivis sosial, yang enggan disebutkan namanya. “Kasus korupsi ini jelas merugikan banyak orang, dan masyarakat berhak untuk menuntut keadilan.”

Dengan latar belakang di mana kasus korupsi kerap menghantui Indonesia, tindakan pemerintah dalam memberikan remisi bagi mantan pejabat seperti Novanto dapat menambah ketidakpercayaan publik terhadap sistem hukum. Masyarakat berharap adanya transparansi dan keadilan yang lebih tegak di dalam penanganan kasus-kasus serupa.

Novanto dikenakan hukuman denda Rp500 juta subsider dan kewajiban bayar uang pengganti sebesar USD 7,3 juta. Meski ia telah melunasi sebagian, di sisa pembayaran ternyata masih terdapat utang yang cukup besar. Notifikasi pembayaran ini menyiratkan beban yang masih harus ditanggungnya sebagai dampak dari tindak korupsi yang dilakukannya.

Dengan adanya remisi ini, beberapa kalangan menyuarakan perlunya peninjauan kembali terhadap aturan remisi bagi narapidana kasus korupsi. “Keberpihakan hukum sangat penting dalam menjaga rasa keadilan. Kami berharap pemerintah dan pihak terkait dapat mengevaluasi kembali kebijakan ini,” ungkap seorang anggota lembaga swadaya masyarakat.

Kesimpulannya, pembebasan bersyarat Setya Novanto menunjukkan adanya tantangan bagi masyarakat Indonesia dalam menegaskan bahwa hukum harus berlaku adil untuk semua. Proses penegakan hukum tidak hanya harus dilakukan berdasarkan regulasi, tetapi juga harus mencerminkan kepentingan publik dan memberikan keadilan bagi korban korupsi yang sering kali terpinggirkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *