Sound Horeg: Hiburan Sementara atau Budaya Baru?

oleh -11 Dilihat
Polres trenggalek tertibkan karnaval bersih desa yang gunakan sound horeg yang melanggar se bupati 1.jpeg

Sound Horeg: Fenomena Hiburan Sementara di Tengah Keterbatasan Ruang Publik

Kota Malang – Masyarakat Jawa Timur, khususnya di Kota Malang, kini tengah bergelut dengan polemik mengenai fenomena sound horeg, sebuah jenis hiburan yang mengandalkan suara keras dan pencahayaan yang mencolok. Hal ini semakin ramai dibicarakan setelah fatwa haram yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur serta adanya larangan dari pemerintah setempat. Kondisi ini menciptakan perdebatan di kalangan masyarakat tentang identitas dan nilai dari sound horeg sebagai sebuah budaya lokal.

Dosen Sosiologi Universitas Brawijaya, Didid Haryadi, dalam kesempatan wawancara menjelaskan bahwa sound horeg tidak seharusnya dianggap sebagai budaya. Menurutnya, fenomena ini lahir akibat minimnya ruang publik yang ramah bagi masyarakat. “Sound horeg muncul karena akses yang terbatas terhadap tempat-tempat rekreasi yang layak, seperti taman kota dan fasilitas bermain bagi anak-anak,” ungkap Didid.

Dalam pandangan Didid, sound horeg lebih tepat dipahami sebagai hiburan sementara yang muncul di tengah keterbatasan alternatif rekreasi, terutama bagi masyarakat yang tergolong menengah ke bawah. Keberadaannya menjadi salah satu cara bagi mereka untuk mengekspresikan diri dan berkumpul, meski dalam bentuk yang sederhana. Dengan kemudahan akses media sosial, hiburan ini pun cepat menjadi tren di kalangan masyarakat.

Didid juga menanggapi anggapan sejumlah warga yang mengaitkan sound horeg dengan budaya baru. Ia menegaskan bahwa budaya jauh lebih kompleks daripada sekadar popularitas. “Budaya adalah panduan hidup, nilai-nilai yang dipelajari dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sound horeg tidak memenuhi kriteria tersebut,” tegasnya.

Latar belakang yang lebih dalam menjelaskan mengapa sound horeg muncul adalah keterbatasan yang dialami oleh banyak kalangan masyarakat. Di tengah kondisi sosial-ekonomi yang penuh tantangan, hiburan yang bisa diakses dengan biaya murah menjadi pilihan. Hal ini berkaitan dengan masalah lebih luas tentang kurangnya perhatian terhadap penyediaan ruang publik yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Munculnya suara keras dan lampu berwarna-warni dari sound horeg bisa menjadi simbol dari frustrasi masyarakat yang terbelenggu oleh ketidakadaan ruang untuk bersantai dan bersosialisasi. Fenomena ini dapat dikatakan berfungsi sebagai pelarian sejenak dari rutinitas sehari-hari yang membosankan.

Didid juga membandingkan sound horeg dengan tren viral lainnya, seperti fenomena “Om Telolet Om” yang sempat mendunia. Menurutnya, kedua hal ini memiliki kesamaan, yakni tidak memiliki nilai yang mendalam atau makna sosial yang berkelanjutan. Dengan demikian, bisa diprediksi bahwa sound horeg akan meredup seiring berjalannya waktu.

Masyarakat kini dihadapkan pada pilihan untuk terus merayakan fenomena ini atau mencari alternatif hiburan yang lebih berkelanjutan dan bermanfaat. Di sisi lain, perhatian dari pemerintah untuk menciptakan ruang publik yang lebih baik dan memadai akan sangat membantu dalam menjawab kebutuhan akan hiburan yang sehat dan bermakna.

Sebagai kesimpulan, sound horeg bukanlah bagian dari warisan budaya yang patut dipertahankan, melainkan lebih kepada refleksi dari tantangan yang dihadapi masyarakat dalam mencari ruang untuk berekspresi. Pemerintah dan masyarakat harus sama-sama menciptakan solusi agar akses terhadap kebudayaan dan ruang publik yang layak dapat terpenuhi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *