Keluarga Korban Meninggal Usai Operasi Amandel di Sidoarjo Tunggu Kejelasan Hukum

oleh -14 Dilihat
Kuasa hukum keluarga korban yang meninggal usai operasi amandel di sidoarjo 1753797528339 169.jpeg

Sidoarjo – Keluarga Korban Operasi Amandel Kembali Desak Keadilan

Keluarga R. Bhagas Priyo, seorang pria berusia 28 tahun yang meninggal usai operasi amandel di salah satu rumah sakit swasta di Sidoarjo, menuntut kejelasan hukum atas kematian putranya. Hampir setahun setelah peristiwa tragis yang terjadi pada 21 September 2024, mereka masih merasa was-was bahwa kasus ini akan terhenti tanpa kejelasan.

Proses hukum dimulai ketika keluarga melaporkan kejadian ini ke Polresta Sidoarjo pada 30 September 2024. Namun, hingga saat ini, penyidikan belum menunjukkan hasil yang berarti. “Proses hukum dari laporan ini masih berjalan di tempat,” ungkap kuasa hukum keluarga, Muhammad Nailul Amani, saat konferensi pers di Kantor LBH Nurani pada Selasa (29/7/2025).

Kondisi ini menciptakan kekhawatiran di kalangan masyarakat, terutama terhadap transparansi sistem hukum di Indonesia. Nailul mempertanyakan keseriusan penyidik dan meminta agar mereka berkoordinasi lebih baik dengan pihak keluarga agar keadilan dapat terwujud. Ia menambahkan, “Ini menyangkut nyawa seseorang. Keluarga sudah berjuang selama setahun untuk mendapatkan keadilan.”

Ibu korban, Anju Vijayanti, mengekspresikan rasa kecewa yang mendalam terhadap proses medis yang dilalui anaknya. Ia menduga adanya malapraktik yang dilakukan oleh pihak rumah sakit, salah satunya adalah kurangnya edukasi sebelum tindakan operasi. “Anak saya tidak diberitahu tentang puasa sebelum operasi. Pertemuan dengan dokter THT pun tidak memberikan penjelasan yang jelas tentang prosedur yang akan dilakukan,” jelasnya.

Lebih lanjut, Anju mengungkapkan bahwa sebelum operasi, anaknya sempat diberikan makanan, dan tekanan darahnya saat itu tinggi, mencapai 180/200. “Jika tensi setinggi itu, kenapa operasi tetap dilanjutkan?” protesnya.

Keberadaan stigma yang menganggap kematian anaknya sebagai takdir semata juga menambah beban psikologis bagi Anju. “Yang menyakitkan bukan hanya kehilangan, tapi juga saat kematian anak saya dianggap bukan tanggung jawab siapapun,” ungkapnya.

Keluarga saat ini berusaha mengumpulkan bukti dan saksi baru untuk diajukan kepada penyidik, dengan harapan kasus ini dapat ditangani secara adil dan transparan. Hal ini mencerminkan keresahan banyak orang tua lainnya yang berharap agar kejadian serupa tidak terulang lagi.

Kasus ini juga membuka diskusi mengenai praktik medis di Indonesia. Masyarakat diminta untuk lebih kritis terkait layanan kesehatan dan hak mereka sebagai pasien. Ketidakpastian dalam penanganan kasus ini dapat memicu kepercayaan masyarakat terhadap sistem kesehatan yang diandalkan.

Diketahui, Bhagas Priyo menghembuskan nafas terakhir setelah menjalani operasi amandel di Sidoarjo, dan pihak rumah sakit menyebutkan bahwa kematiannya disebabkan serangan jantung. Namun, keluarga merasa ada kelalaian dalam proses tersebut, terutama karena tidak adanya surat persetujuan dari pihak keluarga yang kerap menjadi syarat penting dalam menjalani operasi.

Kematian Bhagas menjadi pengingat bagi semua pihak, terutama penyedia layanan kesehatan, untuk selalu menjaga standar praktik medis agar keselamatan pasien tetap menjadi prioritas. Kasus ini tak hanya menjadi fokus hukum, tetapi juga menuntut perhatian dari masyarakat untuk berjuang demi keadilan dan memastikan bahwa setiap nyawa, termasuk nyawa anak-anak, dihargai dengan layak.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *