Aturan Penggunaan Sound Horeg di Jatim Dinilai Tidak Berbasis Data dan Fakta

oleh -4 Dilihat
Ilustrasi sound horeg detikhealth 1754353782850 169.jpeg

Kota Malang – Kebijakan Pengaturan Sound Horeg di Jawa Timur Dipertanyakan

Penggunaan sound system atau pengeras suara, yang dikenal sebagai sound horeg, kini resmi diatur melalui Surat Edaran yang diterbitkan oleh Gubernur Jawa Timur, Kapolda Jatim, dan Pangdam V/Brawijaya. Namun, kebijakan tersebut menuai kritik dari para pengamat karena dianggap belum berbasis data yang akurat dan tidak mencerminkan kondisi yang dialami masyarakat.

Dr. Alie Zainal, seorang pengamat kebijakan publik, mengungkapkan bahwa Surat Edaran Bersama tersebut tidak mempertimbangkan fakta-fakta di lapangan. “Kebijakan ini seharusnya berdasar pada prinsip evidence-based policy, yang memerlukan pengumpulan data yang valid dan relevan dari masyarakat,” ujarnya.

Kritik ini muncul seiring dengan penetapan batas suara maksimum hingga 120 desibel, sementara batas aman seharusnya hanya 80 desibel. Hal ini menjadi sorotan, mengingat potensi dampak kesehatan bagi masyarakat yang tinggal di dekat lokasi penggunaan sound system. “Apakah para pembuat kebijakan sudah memahami betapa mengganggunnya kebisingan ini bagi kehidupan sehari-hari masyarakat?” tambah Alie.

Lebih lanjut, Alie menunjukkan bahwa beberapa ketentuan dalam surat edaran tersebut, seperti kewajiban uji KIR kendaraan dan larangan penggunaan narkoba, sebenarnya telah diatur dalam regulasi yang ada sebelumnya. Menurutnya, jika tujuan kebijakan ini hanya untuk mengingatkan, maka hal itu dianggap tidak efisien. “Kebijakan yang hanya mengulang peraturan yang sudah ada tanpa pendekatan baru akan sia-sia,” jelasnya.

Dia juga mempertanyakan efektivitas pelaksanaan surat edaran ini, terutama terkait pengawasan dan sumber daya yang tersedia untuk memastikan semua ketentuan berjalan dengan baik. “Tanpa adanya penegakan hukum yang tegas, pelanggaran akan terus terjadi. Kita harus bertanya, apakah aparat sudah siap untuk melakukan pengawasan langsung di lapangan?” tegasnya.

Kemudian, aspek pertanggungjawaban dalam perizinan kegiatan juga menjadi perhatian. Alie meminta kejelasan tentang tanggung jawab jika terjadi korban jiwa akibat penggunaan sound system yang berlebihan. “Apakah ini hanya mencakup tanggung jawab pidana? Bagaimana jika ada kerugian lain seperti perdata dan administratif? Penjelasan yang jelas sangat diperlukan,” ujarnya.

Walaupun demikian, Alie mengapresiasi langkah Forkopimda Jatim yang berupaya menjaga keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha hiburan dan masyarakat umum. “Ini adalah upaya untuk merangkul suara dari kedua belah pihak, dengan harapan pemerintah dapat menjaga ketertiban. Namun, pelaksanaan di lapangan harus diawasi dengan cermat,” pungkasnya.

Surat Edaran Bersama yang mengatur penggunaan sound system ini mulai berlaku setelah ditanda tangani pada 6 Agustus 2025. Masyarakat pun berharap kebijakan ini tidak hanya menjadi wacana, tetapi dapat diimplementasikan dengan baik demi terciptanya lingkungan yang lebih nyaman dan aman.

Dengan banyaknya kritik dan pandangan ini, diharapkan hasil akhir dari kebijakan akan lebih berpihak kepada masyarakat yang langsung merasakan dampak dari penggunaan sound system.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *