Surabaya – Pemutaran Musik di Kafe Harus Bayar Royalti
Mulai kini, pemutaran lagu di kafe, restoran, dan rumah hiburan di Surabaya dikenakan kewajiban untuk membayar royalti hak cipta sesuai dengan kebijakan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Kebijakan ini menjadi sorotan utama bagi para pelaku usaha di sektor hiburan, yang mengungkapkan pendapat mereka mengenai hal ini.
Ketua Himpunan Pengusaha Rekreasi dan Hiburan (Hiperhu), George Handiwiyanto, menilai bahwa permasalahan hukum terkait royalti dapat dihindari jika LMKN lebih efektif dalam mengawasi penggunaan musik dan memastikan pembayaran royalti sesuai ketentuan yang berlaku. “LMKN perlu memiliki fungsi yang jelas dalam pemungutan royalti, baik dalam bentuk pajak maupun retribusi,” ungkap George.
George menyarankan agar LMKN segera menghentikan penarikan royalti sementara mereka menyusun sistem dan aturan yang lebih jelas. Ia juga mencatat bahwa pencipta lagu dan musisi seringkali menghadapi kesulitan dalam memperoleh royalti yang adil, dan menyatakan perlunya perbaikan dalam sistem pengelolaan royalti serta kepastian hukum yang lebih baik.
Lebih lanjut, George meminta agar LMKN memiliki dasar hukum yang kokoh saat melakukan pemungutan royalty. Ia menekankan pentingnya mediasi dalam menyelesaikan sengketa yang mungkin terjadi antara pencipta, pemegang hak cipta, dan pengguna karya musik. Sebagai pengacara senior, George mengkritisi peran LMKN yang dinilai kurang aktif dalam melindungi hak pencipta lagu.
Menurut George, selama ini LMKN dianggap tidak memiliki acuan yang jelas dalam penarikan royalti. Ia menekankan pentingnya sistem yang dapat mendeteksi lagu-lagu yang diputarkan serta siapa penciptanya, agar royalti diberikan kepada pemilik yang tepat. “Jangan sampai royalti diterima oleh orang yang tidak berhak,” tegasnya.
Pelaksanaan royalti hak cipta lagu dan musik di Indonesia diatur oleh UU 28/2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah 56/2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta. George mencatat bahwa saat ini penanganan pelanggaran royalti lebih condong ke ranah perdata, yang memungkinkan pencipta lagu menggugat ganti rugi atas penggunaan karya mereka tanpa izin.
“Sebelumnya, apabila terjadi pelanggaran, kasusnya lebih banyak diusut secara pidana,” ucap George. Situasi ini membuatnya merasa prihatin, karena LMKN dinilai terlalu agresif dalam menarik royalti dari tempat hiburan, dengan tarif yang bisa mencapai miliaran rupiah, namun yang didistribusikan kepada pencipta dan pemilik hanya sebagian kecil dari total yang dipungut.
George menegaskan perlunya audit terhadap LMKN untuk memastikan bahwa mereka memiliki sistem pengelolaan royalti yang transparan dan adil. Hal ini penting agar para pencipta dan pemegang hak cipta mendapatkan bagian yang sesuai dari royalti yang seharusnya mereka terima.
Kebijakan ini tentu akan berdampak pada masyarakat umum, terutama bagi pengunjung kafe dan restoran, di mana bisa terjadi kenaikan harga akibat tanggungan biaya royalti oleh pemilik usaha. Sementara itu, penting bagi masyarakat untuk menyadari bahwa royalti yang adil memberikan perlindungan kepada para seniman dan pencipta lagu, sehingga karya-karya mereka dapat dihargai dengan pantas.
Ke depan, diharapkan ada kesepakatan yang harmonis antara LMKN dan pelaku usaha, demi menciptakan ekosistem musik yang lebih sehat serta mendukung keberlanjutan industri kreatif di tanah air.